Bismillah …. Allahumma yassir wa a’in.
Terus terang, kita semua kepingin kaya. Kepingin punya harta, sehingga bisa menyibukkan diri dengan agama dan tidak perlu sibuk kerja, bisa menolong orang miskin, bisa membuka lapangan kerja biar tidak jadi TKW; kepingin naik mobil biar tidak kepanasan-kehujanan …. Ya, ada banyak hal positif yang kita bayangkan ketika kita membuat membuat perencanaan ketika kaya. Kekuatan ambisinya berbeda-beda: ada yang biasa, ada yang luar biasa. Bahkan, ada yang sampai harus tersiksa, sampai stres, karena harapannya tak kunjung datang.
Sadar maupun tidak sadar, sebenarnya kita sedikit tersiksa dengan banyaknya perencanaan untuk sukses yang muncul di benak kita. Bagaimana tidak, kita menginginkan sesuatu, namun impian yang diharapkan masih jauh dari kenyataan. Sebagaimana seorang pemuda yang mencintai gadis idamannya, namun sayang, dia menjadi milik orang lain. Tinggal korban perasaan. Pemuda baik akan berusaha untuk melupakan sang gadis impian agar tidak menjadi beban hidup yang berlarut baginya.
Tak jauh beda dengan harta dan dunia. Berharap kekayaan besar yang tak kunjung datang, paling tidak akan merugikan perasaan Anda. Hanya saja, mungkin kadarnya tidak banyak. Yang lebih penting adalah bagaimana menghilangkan keinginan ini, sehingga tidak membuat Anda selalu berangan-angan.
Di kesempatan ini, mungkin tidak banyak yang bisa kita bahas. Hanya mengambil beberapa pelajaran penting dari firman Allah. Bukan karena ayat ini bermakna sempit, tetapi karena pemahaman sayalah yang terbatas.
Allah berfirman,
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (79) وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ (80) فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ (81) وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ (82
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia pun berkata, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai perbendaharaan seperti yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya, ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu! Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan pahala itu tidak diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar.’ Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya dari azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). Dan orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu pun, ‘Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntunglah orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).’” (Q.S. Al-Qashash:79–82)
Setelah Anda membaca terjemah di atas, izinkan saya untuk tetap memberikan ulasan sedikit tentang makna ayat di atas. Ulasan saya mengacu pada tafsir Taisir Karimir Rahman, karya Abdurrahman As-Sa’di.
Sebelum mengupas ayat dia atas, kita perlu memahami latar belakang Qarun dan masyarakat sekitarnya. Anda jangan menyangka masyarakat Qarun adalah orang kafir. Mereka adalah kaum Nabi Musa ‘alaihis salam. Bahkan, Qarun sendiri adalah sepupu Nabi Musa!
Dahulu, dia adalah orang yang paling pandai membaca Taurat, sampai dijuluki “Al-Munawir” karena suaranya yang bagus. Namun, kemudian dia jadi munafik sebagaimana yang dilakukan oleh As-Samiri. (lihat Tafsir Al-Baghawi, 6:220). Intinya, latar belakang cerita ini terjadi di kalangan kaum muslimin, kaum Nabi Musa, yang beriman kepada Allah dan mengikuti ajaran Musa. Karena itu, mungkin saja hal ini terjadi pada kaum muslimin zaman ini.
Ayat di atas menceritakan cuplikan sejarah Qarun. Suatu hari, dia keluar berjalan-jalan di kampungnya [فِي زِينَتِهِ] dengan memakai semua perhiasan termewah yang dia miliki. Mulailah semua pandangan mata tertuju kepadanya, setiap orang yang dilewati tidak membiarkannya. Di situlah banyak hati mulai berbicara. Di situlah banyak perasaan mulai menyala-nyala. Akhirnya, manusia yang melihat Qarun terbagi menjadi dua. Masing-masing berkomentar sesuai dengan latar belakang dan motivasinya; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang tersimpan dalam hati mereka.
Kelompok pertama: [قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا] orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia. Merekalah orang yang terikat hatinya dengan indahnya harta, sehingga jadilah puncak harapannya. Apa komentar mereka?
يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ
“Duhai, andaikan aku memiliki harta seperti yang dimiliki Qarun.”
Komentarnya tidak tidak jauh dari motivasinya. Akhirnya, tidak terasa, mereka memuji Qarun yang sombong,
إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya, Qarun memiliki keberuntungan yang besar.”
Memang benar, Qarun sangat beruntung, andaikan tidak ada lagi kehidupan setalah kematian ….
Ada hal menarik yang terlintas, saya membayangkan keadaan orang yang silau dengan kehidupan Barat, yang termotivasi dengan peradaban Barat. Terkadang, tanpa sadar, mereka memuji hal yang kebarat-baratan. Padahal, mereka yakin, negara-negara Barat adalah negara kafir. Barangkali, fenomena ini mirip dengan kaum Qarun yang bodoh.
Ya, hanya lintasan perasaan ….
Kita lanjutkan …
Kelompok kedua: [وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ] orang yang diberi ilmu. Merekalah manusia yang dipilih oleh Allah. Manusia yang mendapatkan curahan taufik, yang memahami hakikat sesuatu dan mampu bersabar, melihat hal tersembunyi di balik kehidupan dunia. Mereka memahami hakikat di balik zahir kekayaan Qarun, yang tidak dipahami oleh umumnya masyarakat. Mereka berkomentar,
وَيْلَكُمْ
“Celaka kalian!”
Mereka nyatakan hal ini untuk melawan keinginan banyak orang terhadap harta dunia yang dimiliki Qarun. Mereka orang pilihan di tengah kerumunan orang yang silau dengan dunia.
ثَوَابُ اللَّهِ
“Balasan Allah ….”
Semua janji yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang taat kepadanya. Baik yang disegerakan di dunia, seperti kelezatan iman, kenikmatan beribadah, maupun nikmat yang tertunda, yaitu surga.
خَيْرٌ
“… Itu lebih baik.”
Daripada semua angan-angan dunia dan harapan mendapatkan harta bagaikan Qarun.
Satu hal yang menarik, perasaan ini tiba-tiba hilang dari pikiran banyak orang. Sekali lagi, mereka adalah orang mukmin, yang percaya kepada Allah. Seolah bayangan dunia telah menjadi penghalang utama mereka untuk mengingat Allah. Jadilah yang teringat hanya dunia Qarun. Kecuali orang yang Allah pilih.
Ini menunjukkan besarnya ujian dunia. Hanya dengan melihat saja, bisa membuat orang lupa Allah, lupa nikmat Allah yang ada pada dirinya. Akibatnya, orang tidak akan bersyukur terhadap nikmat Allah yang ada pada dirinya.
Karena itu, sungguh berat kilauan dunia ini bagi mata manusia. Benarlah wasiat yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إن الدنيا حلوة خضرة وإن الله مستخلفكم فيها فينظر كيف تعملون فاتقوا الدنيا واتقوا النساء فإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء
“Sesungguhnya, dunia itu manis dan hijau. Allah menjadikan kalian sebagai pengganti dari umat sebelumnya, dan Dia memperhatikan apa pun yang telah kalian lakukan. Karena itu, takutlah pada kehidupan dunia dan takutlah pada wanita. Sesungguhnya ujian pertama yang menimpa Bani Israil adalah perihal wanita.” (H.R. Bukhari)
Hanya mereka yang sabar, yang berusaha menahan ini, yang akan diselamatkan oleh Allah. Sebagaimana yang Allah nyatakan di akhir ayat,
وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ
“Dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar.”
Akhir pilu bagi Si Qarun
Setalah diberi kesempatan untuk menikmati keindahan dunia, datanglah azab yang menggelamkan Qarun bersama hartanya ke dalam tanah. Sebagai balasan dari perbuatannya yang merasa lebih tinggi daripada seluruh manusia, Allah letakkan Qarun di tempat yang paling rendah. Bagaimana dengan dua kelompok manusia yang sebelumnya berkomentar?
Orang-orang, yang dahulu berharap bisa seperti Qarun, mengatakan,
وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ
“Aduhai, Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya, dan menyempitkannya.”
Mereka baru sadar, rezeki yang Allah berikan bukanlah tanda bahwa itu hidup yang lebih baik, bukan pula tanda bahwa dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar. Kemudian, mereka menyesali komentar dan pujian mereka untuk Qarun,
لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا
“Kalaulah Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, tentu Dia telah membenamkan kita.”
Demikian pula, Allah tidak menghukum kita disebabkan ucapan kita. Semoga Allah menyelamatkan kita dari bencana fitnah dunia. Amin.
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah Qarun tersebut:
1. Beratnya fitnah dunia, ditambah sifat tidak qana’ah yang ada pada diri manusia.
2. Dalam menyikapi harta, manusia terbagi dua: Pertama, orang yang tidak mudah terpengaruh harta, yang disebut Allah sebagai “orang yang diberi ilmu”; Kedua, orang yang mudah terpengaruh harta, yang berarti kebalikannya: bukan orang yang berilmu.
3. Kekuatan untuk tidak mudah terpengaruh harta ada pada diri manusia yang memiliki dua sifat mulia: ilmu dan sabar.
4. Orang yang berilmu mengetahui hakikat di balik ujian dan fitnah. Mereka memahami dampak buruk dan konsekuensi kemunculan fitnah, sebelum diketahui oleh umumnya masyarakat.
5. Banyaknya rezeki dan harta bukan tolak ukur bahwa Allah memberikan kebaikan.
Allahu a’lam. Semoga bermanfaat.
Artikel www.PengusahaMuslim.com